literature

Aku Mau Berhibernasi

Deviation Actions

ulieazhar's avatar
By
Published:
1.7K Views

Literature Text

Alkisah, ada sebuah keluarga beruang yang terdiri dari bapak beruang, induk beruang, dan dua anaknya, yang tinggal di kaki sebuah pegunungan. Seringkali teman-teman mereka menjuluki keluarga ini sebagai "A Little Happy Family" karena keakraban dan kebahagiaan yang selalu mereka tunjukkan, dan mereka hanya tersenyum sambil mengucapkan terima kasih saat kalimat pujian ini mereka terima. Bagi mereka, pangan yang tercukupi, punya tempat yang nyaman untuk berlindung, dan anak-anak yang penurut dan sehat, adalah kebahagiaan besar yang sudah sepatutnya dinikmati dan disyukuri.

Walaupun begitu, bukan berarti keluarga ini terbebas dari kesulitan. Masalah mulai muncul saat kedua orang tua beruang ini menyadari bahwa akhir-akhir ini anak beruang yang lebih besar sedang mengalami masa pubertas, layaknya remaja manusia. Ia menjadi mudah marah dan memberontak. Kata-kata yang dilontarkannya pun menjadi sulit dimengerti oleh orang tuanya. Kadang kala sang ayah kehilangan kesabaran dalam menghadapinya, tapi ia selalu mendapatkan senyuman maaf penuh kasih dari sang ibu. Selain itu, ia juga merasa bingung karena salah satu temannya, si beruang jantan yang tinggal di sisi gunung yang lain itu, yang biasanya terlihat menyebalkan karena selalu mempermainkannya saat mereka bertemu, tiba-tiba terlihat seperti beruang paling gagah di matanya. Pikiran dan hatinya yang sering berubah-ubah seringkali membuat si beruang kecil menjadi bingung dengan dirinya sendiri. Ia tak ingin terlihat 'aneh', tapi si beruang kecil tak sanggup untuk melawan hal itu.

Suatu hari, si beruang kecil kambuh lagi. Melihat ibunya yang sedang memanjakan sang adik, tiba-tiba timbul rasa iri yang keluar tanpa sanggup ia tahan. Ia merasa iri karena merasa bahwa adiknya telah "merampas" semua perhatian sang ibu, tapi ia terlalu gengsi untuk mengatakan secara langsung. Ditambah lagi, hari ini ia mendengar bahwa beruang jantan yang ia sukai mempunyai teman baru, seekor beruang betina yang kelihatannya baru ia kenal. Dalam kegalauannya hari itu, akhirnya dengan sambil menghentakkan kaki, ia tiba-tiba berteriak di depan ibunya:

Aku mau berhibernasi selamanya, sendirian, dan tak akan kembali! - kata sang beruang kecil.

Sang ibu menatapnya dengan pandangan mata yang memancarkan kebingungan. Sambil menimang sang adik, si ibu tersenyum sayang sambil memandang lurus ke mata si beruang kecil, kemudian berkata dengan nada penuh kasih - Sekarang belum waktunya, anakku sayang.. nanti, saat waktunya tiba, di saat tiada warna lain kecuali putih membentang sejauh mata memandang, kita semua akan menjalaninya bersama-sama. Kemudian, setelah dingin yang membekukan dihalau pergi oleh hangatnya sang mentari, kita akan kembali membuka mata untuk menikmati indahnya kicauan si burung biru di pagi hari dan indahnya awan yang berarak di atas kepala..

Sang beruang kecil melengos, ia kembali berteriak sambil membelakangi ibunya, bahkan kali ini ia semakin meninggikan nada suaranya saat berteriak:

Aku nggak peduli! Aku nggak peduli saat ini matahari masih ada di atas sana untuk menerangi bumi! Aku nggak peduli butiran putih itu belum datang untuk memenuhi permukaan tanah dan membekukannya! Aku hanya ingin sendirian!! Aku hanya ingin tidur, dan tidak memikirkan siapa-siapa!! AKU BENCI SEMUANYA!!! Aku tidak mau diatur-atur lagi! Aku tidak mau ada orang yang mengatakan apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan! Aku tidak mau lagi melihat orang menyakiti hatiku lagi!! AKU BENCI!!!</i>

Kemudian si beruang kecil berbalik menatap ibunya dengan raut muka yg terlihat seperti perpaduan antara rasa cemas, keras kepala, dan sedih sekaligus, mulutnya berkali-kali membuka dan menutup, seakan-akan masih ingin mengatakan sesuatu, tapi membatalkannya di saat kata-katanya hampir meluncur dari ujung lidahnya. Matanya menatap berpindah-pindah antara sang ibu dan adiknya yang tertidur nyaman di dalam pelukan ibunya, kedua tangan sang ibu sedang menutupi telinga si adik agar suara keras si beruang kecil tidak mengganggu tidur nyenyaknya. Melihat itu, akhirnya si beruang kecil hanya sanggup menggumam - Ibu.. aku.. aku..

Si beruang kecil tak sanggup lagi menatap mata ibunya. Ia berbalik, kemudian melangkah pergi meninggalkan sang ibu yang menatapnya dengan pandangan mata sedih.

Si beruang kecil yang pergi dari rumah, berjalan tak tentu arah. Dalam keadaan yang bercampur antara marah, bingung, dan sedih, sesekali ia berjalan dengan sengaja menabrakkan diri pada pohon-pohon yang berada rapat di kanan-kirinya, menyebabkan ranting-ranting yang kering menjadi patah dan berjatuhan ke tanah. Si beruang kecil tak menghiraukan bahunya yang semakin terasa perih. Si beruang kecil masih merasa ingin berteriak, tapi ia tak tahu akan ditujukan kepada siapakah teriakannya itu: Sang ibu? Adik? Si beruang jantan? Atau si betina itu??

Si beruang kecil berjalan terus, tiada peduli pada langit yang semakin memerah atau pada matahari yang mulai bergulir turun. Ia berjalan seakan-akan tidak peduli akan keempat kakinya yang sudah mulai terasa letih karena tidak pernah berhenti melangkah. Ia tetap berjalan tanpa menoleh, seolah-olah meninggalkan sesuatu yang teramat menyakitkan di belakangnya. Sesekali si beruang kecil meluapkan perasaannya dengan melolong marah, yang anehnya malah lebih terdengar sebagai lolongan sedih di telinganya sendiri.

Tapi akhirnya si beruang kecil harus menyerah, pada sakit di telapak kakinya, pada perutnya yang mulai merintih karena lapar, dan pada sinar bulan yang tidak seterang matahari di siang hari. Si beruang kecil berhenti di suatu tempat, dimana pohon-pohon besar mulai semakin jarang dan akhirnya hanya ada tumbuh-tumbuhan kecil di sana, dan bahkan pada akhirnya tiada terlihat adanya tumbuhan yang hidup. Rupanya ia tiba di pinggir jurang! Tempat yang selama ini tak pernah ia berani bayangkan akan berada di sana, karena selama ini orang tuanya tidak pernah membiarkan ia pergi sendirian sejauh ini. Si beruang kecil maju sedikit di tepian jurang untuk melihat ke arah bawah. Oww! Tinggi sekali! - ia membatin. Hatinya sedikit kecut melihat betapa tinggi posisinya dari sini.

Perlahan si beruang kecil mundur, menjauhi tepian jurang. Ia masih belum tahu apa yang akan ia lakukan sekarang, apakah akan berusaha untuk pulang, atau tetap bertahan di sini, di tempat yang sungguh-sungguh asing untuknya ini. Belum lagi memikirkan tentang makanan, si beruang kecil belumlah terlatih untuk berburu, karena selama ini ayahnya yang berburu untuk makan mereka sekeluarga. Si beruang kecil mulai merasakan takut, apakah ia akan aman di sini? Selama ini ayah dan ibunya selalu bercerita tentang betapa bahayanya berada di dunia luar sendirian dan mereka selalu melindunginya, tapi kekeraskepalaan dan keegoisannya telah menyebabkan hidupnya terancam seperti saat ini. Tapi kedua hal itu juga yang menyebabkan si beruang kecil akhirnya memutuskan tidak akan pulang ke rumah saat ini, tidak untuk malam ini, ia memutuskan dengan keras kepala di dalam hati.

Si beruang kecil kemudian berjalan untuk mencari makanan, apapun itu ia pasrah asalkan bisa masuk ke perut dan mengenyangkannya. Si beruang kecil mengorek tanah dengan cakarnya, mencari jamur, kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Ergh! Tidak enak! Ia meludahkan jamur keluar dari mulutnya sambil berlari ke pohon muda yang terdekat dengan posisinya, mencari-cari bagian kulitnya yang lunak dan mengelupasnya, kemudian mulai mengunyahnya perlahan. Hm, cukup manis.. lumayan untuk mengganjal perutnya yang kosong sedari tadi. Si beruang kecil menengadah ke atas dan ia ingin sekali bisa meraih sarang lebah madu di atas kepalanya itu, tapi insting melarangnya.

Sekarang masalah lain datang setelah ia mengisi perutnya, dimana ia akan tidur malam ini?? Si beruang kecil mengantuk dan merasa ingin berbaring saat ia mulai mengingat lantai guanya yang hangat dan nyaman. Si beruang kecil mulai merindukan kehangatan dan kebersamaan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Si beruang kecil mulai menangis lirih di saat ia mengingat kelucuan dan celoteh adik kecilnya. Tiba-tiba si beruang kecil mulai menyesalkan keegoisannya yang telah membuatnya sampai tiba di sini. Si beruang kecil pun tidak lagi peduli tentang si beruang jantan, ataupun beruang betina, ia tidak peduli lagi tentang semua itu. Saat ini si beruang kecil hanya ingin pulang, kembali bersama ayah, ibu, dan adiknya, dan bergelung dengan nyaman di dalam gua, sambil mendengarkan sang ibu bercerita sampai mereka semua tertidur nyenyak. Si beruang kecil mulai menangis dan melolong dengan suara keras, ia merasa sendirian.. dan seperti film yang diputar ulang, ia seperti mendengar kembali kata-kata yang sempat ia lontarkan kepada sang ibu sebelumnya, kata-kata yang tidak ia pikirkan akan benar-benar terjadi, kata-kata yang terlempar keluar hanya karena dorongan kebodohannya semata, dan sekarang ia menyesalkan hal itu.. Tapi sudah terlambatkah bila ia menyesal sekarang??

Bulan di langit bulat dan terang, tapi seakan-akan ia terlihat sedih melihat keadaan si beruang kecil. Si beruang kecil akhirnya tertidur dengan sisa-sisa airmata membekas di pipinya, meninggalkan jejak berupa bulu yang basah dan menempel erat dengan kulitnya. Si beruang kecil sesekali mengigau dalam tidurnya yang tidak nyenyak, karena saat itu ia tertidur di luar, penuh dengan perasaan menyesal, takut, capai, dan kedinginan, dan rasa lapar akibat kedinginan itu membuat si beruang kecil tanpa sadar menangis dalam tidurnya. Malam semakin larut, suasana hutan yang hanya ditingkahi oleh suara burung hantu dan binatang malam membuat malam semakin terasa mencekam.

Tapi tiba-tiba terdengar bunyi berkeresak dari arah belakang si beruang kecil! Si beruang kecil terlonjak dari tidurnya. Ia duduk dengan waspada sambil ketakutan, membayangkan apa atau siapakah yang kira-kira menimbulkan bunyi tersebut. Terdengar langkah-langkah kaki yang berat, melangkah lambat, tanpa menimbulkan suara lain kecuali bunyi keretak dahan kering yang terinjak dan desah nafas berat. Si beruang kecil semakin ketakutan, langkah itu semakin mendekat ke tempatnya duduk sekarang. Nafas si beruang kecil memburu, ia tidak tahu apakah ia harus berlari atau mencari tempat persembunyian agar ia tidak bertemu dengan makhluk tersebut. Perlahan si beruang kecil menoleh ke kanan dan kirinya, mencari-cari tempat yang bisa dijadikan tempat untuk bersembunyi. Ia melihat ada sebuah pohon besar di kejauhan, kelihatannya cukup besar sebagai tempatnya berlindung.

Dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara, si beruang kecil mulai melangkah ke arah pohon tersebut. Si beruang kecil melangkah hati-hati, sesekali menoleh ke arah bunyi keretak langkah tadi, ia berusaha agar saat melangkah tidak menimbulkan suara dan melangkah semakin cepat ke tujuannya. Tapi tanpa sengaja tiba-tiba kaki si beruang kecil menginjak ranting, dan bunyi keretak patahnya seakan-akan bagai bom di telinganya! Dengan ketakutan si beruang kecil berhenti, karena bunyi langkah itupun ikut berhenti di belakangnya. Nafas si beruang kecil makin tak teratur, jantungnya berdegup kencang, bertalu-talu di dalam dadanya sampai rasanya ingin melompat keluar. Tiba-tiba langkah itu terdengar lagi, bahkan sekarang langsung berjalan menuju arahnya, dan semakin lama semakin cepat bahkan nyaris berlari. Si beruang kecil tersentak dan memutuskan untuk berlari secepatnya, menjauh dari makhluk itu. Si beruang kecil mulai menangis, si beruang kecil mulai melolong memanggil ibu dan ayahnya, bahkan sesekali menyebut nama adiknya. Pengejarnya sudah semakin dekat, ia merasakan hal itu. Si beruang kecil makin mempercepat langkah kaki kecilnya, tapi dadanya yang sesak dan airmata yang mengalir dari matanya membuatnya kesulitan melihat arah, dan tiba-tiba...

Si beruang kecil tiba di pinggir jurang!

Si beruang kecil tersudut di pinggir jurang, nafasnya semakin memburu sekarang. Dadanya sesak akan rasa takut yang tak terkira. Cakar si beruang kecil erat menancap ke tanah, dengan rasa takut yang semakin memuncak si beruang kecil menoleh ke kanan dan kirinya untuk mencari jalan keluar, tetapi satu-satunya jalan adalah kembali ke arah mana tadi ia datang. Tempat dimana si pengejar itu berada!

Dengan panik, si beruang kecil mendengarkan langkah-langkah kaki yang menderu berderap ke arahnya, makin lama semakin mendekat ke tempatnya berdiri saat ini. Si beruang kecil tanpa sadar melangkah mundur, ia merasa harus berada sejauh mungkin dari si pengejar, tapi posisi kaki belakangnya telah menyentuh pinggiran jurang, menyebabkan kerikil-kerikil kecil berjatuhan ke bawah. Dengan perasaan ngeri si beruang kecil menoleh ke belakang, melihat betapa jauhnya dataran di bawah, dan membayangkan betapa sakitnya kalau saja ia sampai terjatuh ke sana..

Dan tiba-tiba, tanpa peringatan lebih dahulu, si pengejar telah muncul di hadapannya! Airmata yang masih mengalir dan cahaya sang bulan yang berada di belakangnya menghalangi pandangan si beruang kecil untuk melihat dengan jelas siapa sebenarnya si pengejar itu. Dengan ketegaran yang tiba-tiba muncul, si beruang kecil menghapus aliran airmatanya, kemudian berdiri dengan tegak. Ia melihat sosok besar yang melangkah gontai dengan keempat kakinya, terlihat lusuh dari kejauhan dan -si beruang kecil memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas, apakah itu benar??- langkahnya terlihat capai.

Tiba-tiba si pengejar mengeluarkan suara, terdengar letih, tapi ada nada kelegaan luar biasa di dalamnya. Si beruang kecil semakin memicingkan mata agar lebih jelas, dibalut rasa tidak percaya. Karena suara itu memanggil namanya, dan itu adalah...

Ayah!</i>- si beruang kecil berteriak keras.

Si beruang kecil berlari kencang menuruni pinggiran jurang, menuju sang ayah yang pada saat itu berhenti untuk menyambut dan kemudian memeluknya dengan erat saat si beruang kecil tiba di hadapannya. Si beruang kecil menangis terisak sambil memeluk sang ayah sambil berbicara tanpa henti: Ayah, oh ayah, aku takut, takut sekali! Oh ayah, maafkan aku, maafkan aku karena telah pergi dari rumah, maafkan aku ayah, maafkan aku..

Sang ayah tidak berkata apa-apa, hanya memeluk erat si beruang kecil sambil mengelus kepalanya, kemudian mencium kedua pipi anaknya yang basah oleh airmata. Setelah si beruang kecil berhenti menangis, ia menyadari betapa lusuhnya sang ayah, dan menyadari bahwa tentunya ia telah mencari dirinya sepanjang malam. Si beruang kecil semakin mengetatkan pelukannya, belum pernah ia merasakan betapa besar ia menyayangi ayahnya seperti malam ini. Sejenak kemudian sang ayah berkata -Ibu menunggumu di rumah, ayo kita pulang sekarang.. - sambil mendorong si beruang kecil dengan moncongnya agar melangkah maju. Si beruang kecil mulai berjalan di depan ayahnya, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang sambil berkata -Ayah.. - kata si beruang kecil lirih, sang ayah mengangkat kepalanya yang besar ke arahnya. Si beruang kecil melanjutkan kata-katanya yang terhenti sebelumnya dengan perasaan bersyukur yang luar biasa -Aku sayang sekali padamu, ayah.. Sungguh.. Terima kasih karena telah bersusah payah untukku malam ini..

Sang ayah melangkah maju, kemudian memeluk si beruang kecil dengan pelukan yang erat sambil tersenyum lebar. Si beruang kecil tersenyum dan membalas pelukan ayahnya.

Si beruang kecil dan sang ayah kemudian meneruskan perjalanan dengan beriringan, kembali menuju ke gua tempat mereka tinggal. Sepanjang perjalanan, berkali-kali si beruang kecil memandang sang ayah yang terlihat letih tapi bahagia sekaligus. Mereka bercakap-cakap dengan riang sepanjang perjalanan, seakan-akan tak pernah bercanda seperti ini sebelumnya, menyebabkan perjalanan tak terasa jauh, apalagi lama. Betapa bedanya dengan saat ia pergi kemarin, yang penuh dengan kemarahan dan kesedihan, perjalanan pulang ini terasa sangat menyenangkan buatnya. Di dalam hati, si beruang kecil sudah tidak sabar lagi ingin bertemu dengan sang ibu, dan merasakan pelukan hangatnya. Oh ibu.. sungguh, maafkan aku..

Tapi setiba mereka di depan pintu gua, tiba-tiba terbesit rasa cemas dan ragu di dalam hati si beruang kecil membayangkan bagaimana wajah sang ibu saat melihatnya nanti. Sang ayah menyadari keraguannya, kemudian sambil tersenyum sekali lagi ia mendorongkan moncongnya ke tubuh si beruang kecil untuk masuk ke dalam. Dengan pelan, si beruang kecil melangkah masuk ke dalam gua, dan di sana ia melihat sang ibu yang sedang duduk menangis, di sebelah adiknya yang tertidur lelap, bergelung dengan nyenyak di lantai yang dilapisi dedaunan.

Mendengar ada langkah kaki, sang ibu menyadari bahwa tentu suaminyalah yang pulang. Ia menoleh dan melihat si beruang kecil juga berdiri di sana, di depan sang ayah. Sang ibu membelalak tak percaya, kemudian berlari untuk memeluknya sambil menangis. Si beruang kecil menangis sekali lagi di dalam pelukan ibunya..

Masih menangis tapi sekarang dengan senyum menghiasi wajahnya, sang ibu memegang wajah si beruang kecil dengan kedua tangannya, kemudian menyentuhkan hidungnya dengan hidung si beruang kecil. Si beruang kecil memejamkan mata untuk meresapi hangatnya sentuhan sang ibu. Dadanya terasa penuh, sesak oleh berbagai hal yang sangat ingin ia katakan, tapi tak sanggup ia keluarkan. Tentang rasa iri, tentang rasa cemburu, dan betapa ia merasa marah kepada diri sendiri karena merasakan hal itu. Ia menyadari, tak sepantasnya ia iri kepada sang adik, karena ia juga sebenarnya menyayanginya. Ia juga sadar, tak sepantasnya ia marah kalau saat ini kedua orang tuanya lebih memperhatikan adiknya, karena sang adik memang lebih membutuhkan hal itu daripada dirinya. Ia lebih-lebih menyadari, bahwa tak seharusnya ia merasa cemburu kepada sang beruang betina yang saat ini dekat dengan jantan yang ia sukai, karena toh si beruang jantan bukanlah miliknya. Betapa ia ingin memarahi dirinya sendiri untuk semua ini, tapi ia lebih memilih untuk melampiaskan kemarahannya kepada keluarganya, karena kadang kala akan lebih mudah untuk melampiaskan hal tersebut kepada dunia sekitarnya. Padahal di dalam hatinya ia menyadari, bahwa hati lembut sang ibu akan terluka setiap kali hal ini terjadi..

Kembali terjadi, dari kedua sudut matanya menetes sesuatu yang bening seperti rintik hujan yang turun dari langit. Airmata itu, semakin lama membuncah semakin banyak, hingga tampak bagaikan dua aliran anak sungai yang sedang dilanda banjir. Sang ibu menunduk, mendekatkan mulutnya ke mata si beruang kecil, kemudian menjilati linangan airmata yang mengalir dengan penuh kasih sayang. Tanpa menyuruh berhenti, tanpa melarang..

Si beruang kecil lama menangis tersedu, hingga akhirnya ia merasa airmatanya semakin sedikit, berkurang, dan kemudian mengering. Ia masih merasakan jilatan halus lidah sang ibu di kedua pelupuk matanya sampai tiada lagi yang tersisa. Si beruang kecil seketika merasakan genangan ketenangan dan kehangatan yang memenuhi seluruh rongga hatinya, setelah airmata memutuskan berhenti mengalir. Dadanya kembali terasa ringan dan lega. Sang ibu menghentikan jilatannya saat ia merasa si beruang kecil mulai membuka matanya kembali, kemudian tersenyum penuh rasa sayang sambil sekali lagi menjilat si beruang kecil di bagian atas kepala.

Sambil tetap memejamkan mata, lirih berkata si beruang kecil.. - Ibu, terima kasih untuk cintamu hari ini, terima kasih sekali lagi untuk kasih sayangmu hari ini, terima kasih untuk perhatianmu hari ini.. Sungguh keegoisan semata kata-kataku sebelumnya, dan aku malu akan hal itu. Menyampaikan kata maaf mungkin terdengar bagai pembelaan, tapi aku merasakan kesepian amat sangat yang tiba-tiba menghentak ulu hatiku, dan aku ingin berlari menjauh dari rasa sepi itu. Aku tidak mau sepi ibu, aku tidak mau merasakan kesepian lagi kali ini! Aku ingin melepaskan rasa sepi itu dengan pergi darimu, tapi kau menyadarkanku bahwa hanya dengan bersama dirimulah maka aku akan bisa mengalahkan rasa sepi itu. Hibernasiku ingin bersamamu, ibu.. Aku tak ingin jauh darimu lagi.. Jangan pernah letih menyayangiku, ibu.. Karena sampai kapanpun aku akan selalu membutuhkan cinta dan kasih sayangmu untukku.. Terima kasih atas semua cintamu ibu, aku menyayangimu..

Si beruang kecil mengakhiri kata-katanya dengan kembali memeluk sang ibu erat-erat. Oh betapa ia bersyukur telah dilahirkan di dalam sebuah keluarga yang penuh kehangatan seperti ini. Dan betapa ia menyadari, bahwa hanya dengan kasih sayanglah semua akan bisa teratasi, dan ia tak perlu merasa sendiri lagi.

Ayah, ibu, sungguh aku berterima kasih, karena kalian telah mengajarkanku tentang hal ini..


Jakarta, 2 Desember 2008

Dedicated to: Fathir (anakku tersayang yang dilahirkan oleh adikku :p), The Azhar Family (Papah, Mamah, Pipit, Iman, Dedek, David), Ivan Galapagoz (thank you sooo much!), other members of the 4 Musketeers (Athan, Ipanks, Natalia) for still being with me, Gratcia Siahaya, dan Allyjava yang udah bersedia membaca cerita si beruang kecil ini. I Love You All!</b>
Cerpen pertama yg berani dipublikasikan hihi.. :worship:
© 2008 - 2024 ulieazhar
Comments2
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In
themozzie's avatar
pak beruang dan ibu beruang na mana yap ?